Selasa, 26 Mei 2009

ELEMEN-ELEMEN KRITIS DALAM KONSEP PENDIDIKAN PAULO FREIRE

PENDAHULUAN


Berbicara pendidikan saat ini berarti berbicara tentang segudang permasalahan yang tak kunjung usai. Problem pendidikan yang sangat krusial diperbincangkan hingga dewasa ini adalah problem di manakah sebenarnya posisi ideal peserta didik dalam proses pendidikan, apakah sebagai subjek ataukah objek. Pertanyaan ini terkait erat dengan pertentangan antara Positivisme ilmu pengetahuan yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang positif, tetap, dan pasti. Karenanya, bagi kaum positivis mendidik berarti proses mentransfer pengetahuan dari pihak yang tahu kepada pihak yang bodoh. Di pihak lain, kelompok kritis menyatakan bahwa pendidikan bukanlah proses satu arah, dari guru kepada murid. Menurut kelompok ini, peserta didik harus dipandang sebagai subjek yang bebas.

Adalah Paulo Freire tokoh pendidikan Kritis asal Brazil yang memiliki pandangan yang lebih menekankan peserta didik sebagai subjek yang bebas. Gagasan-gagasan Freire yang berciri kritis telah banyak mempengaruhi pikiran ahli pendidikan yang selama ini tidak puas dengan proses pendidikan yang telah berjalan. Dalam banyak hal, kritik pendidikan yang diajukan oleh bebarapa pakar terutama terhadap kebijakan pendidikan pemerintah harus diakui terinspirasi dari konsep pendidikan Freire. Hal ini karena konsep pendidikan Freire dianggap mempunyai daya pendobrak yang kuat terhadap untuk mematahkan argumen pendidikan positivistik yang dinilai lebih cenderung top down dan memposisikan peserta didik sebagai pihak kedua yang bisa diindoktrinasi. Berikut adalah ulasan lebih jauh tentang konsep pendidikan yang diajukan oleh Paulo Freire.


SEKILAS TENTANG PAULO FREIRE

Freire lahir 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur laut Brazil. Bapak ibunya bernama Themistocles Freire dan Edeltrus Neves. Sejak kecil ia diajari orang tuanya untuk menghargai dialog dan pendapat orang lain. Dari sini Freire belajar menganalisis setiap konsep yang didapatnya. Ketika berumur sepuluh tahun, keluarganya pindah ke Jabatao dan di kota inilah ayahnya meninggal. Freire harus bergelut dengan masa transisi dan keterbatasan finansial. Situasi ini membuatnya jatuh bangun menjalani studi. Akhirnya dia dapat menyelesaikan sekolah menengahnya. Lalu dia diterima di fakultas hukum di Universitas di Recife. Di samping kuliah hukum, dia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa.

Pada tahun 1944, Freire menikah dengan Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar yang kemudian menjadi kepala sekolah. Dari pernikahan itu Elza melahirkan tiga orang putri dan dua orang putra (Collins, 2002). Ketertarikan Freire dalam teori-teori pendidikan mulai tumbuh, dan menuntunnya untuk lebih banyak menelaah bacaan tentang pendidikan, filsafat, dan sosiologi daripada hukum yang selama ini sebagai sarana penghasilannya. Freire memberikan pendidikannya lewat seminar, pengarahan, kursus-kursus dan pengajaran dalam mata kuliah sejarah, filsafat pendidikan, dan lain-lain, di University of Recife, dan ia memperoleh gelar doktor pada tahun 1959.

Sejak Juni 1963 sampai Maret 1964, tim pemberantasan buta huruf Freire telah bekerja ke seluruh pelosok negeri. Mereka berhasil menarik minat masyarakat yang buta huruf untuk belajar baca tulis. Rahasia kesuksesan itu ada pada Freire dan timnya yang mempresentasikan partisipasi dan emansipasi dalam proses politik ke arah pengetahuan membaca dan menulis sebagai goal (tujuan) yang ingin dicapai untuk seluruh masyarakat Brazil. Usaha Freire dan timnya tidak hanya mengartikan bunyi dari huruf-huruf mati, tetapi juga sebagai proses penyadaran dari situasi ketertindasannya. Dengan demikian pembelajaran baca tulis alfabetisasi merupakan langkah awal yang penting dalam usaha konseintisasi (penyadaran) terutama bagi orang dewasa. Penyadaran yang dilakukan Freire dan timnya dilakukan dengan menampilkan problematisasi secara rutin akan eksistensi mereka. Dengan begitu, di samping mereka melek huruf, juga melek politik.

Menjelang akhir dasawarsa 60-an, Freire menerima undangan dari universitas Harvard. Kemudian Freire meninggalkan Amerika Latin menuju Amerika Serikat, di sana ia menjadi guru besar tamu di Harvard’s Center for Studies in Education and Development, dan juga menjadi anggota kehormatan di Center for the Study of Development and Social Change. Di awal 1970-an Freire meninggalkan Harvard University. Pada 1979, Freire diundang pemerintah Brazil untuk kembali dari pembuangan dan mengajar di University of Sao Paulo. Pada 1988 ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paolo. Tahun 1992, Freire merayakan ulang tahunnya ke 70 bersama dengan dua ratus lebih rekan pendidik, pembaru pendidikan, sarjana, dan para aktivis grass root. Acara tersebut diisi dengan workshop dan pesta selama tiga hari yang disponsori oleh New School for Social Research, hal itu menandakan betapa besar prestasi serta keberhasilan hidup dan karya Freire. Pada 2 Mei 1997 Freire mengalami serangan jantung dan akhirnya meninggal dunia dalam usia 75 di Rio de Janeiro (Collins, 2002).


PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN PAULO FREIRE

1. Pendidikan Yang Membebaskan

Tema yang tidak bisa dilepaskan ketika berbicara tentang konsep pendidikan Pauo Freire adalah gagasannya tentang pendidikan yang membebaskan. Dengan istilah lain dia sering menyebutnya dengan ketidak-sadaran historis (historical anesthesia) yang berarti keadaan masyarakat yang tidak mau tahu apa yang terjadi dalam masyarakatnya, tidak ikut mempertimbangkan kegiatan dan partisispasinya dalam kancah perubahan sosial. Dalam banyak kesempatan Freire mengatakan bahwa pendidikan merupakan nilai yang paling vital bagi proses pembebasan manusia. Baginya pendidikan menjadi jalur permanen pembebasan, dan berada dalam dua tahap. Pertama, pendidikan menjadikan orang sadar akan penindasan yang menimpa mereka dan melalui gerakan praktis mengubah keadaan itu. Kedua, pendidikan merupakan proses permanen aksi budaya pembebasan.

Dalam Education as the Practice of Freedom in Education for Critical Conciousness, Freire (1973) mengatakan bahwa pendidikan pada tataran ini harus menjadi proses pemerdekaan (humanisasi), bukan penjinakan (domestifikasi) sosial sebagaimana yang sering terjadi dalam dunia ketiga (seperti Brazil), yakni pendidikan sering dijadikan alat untuk melegitimasikan kehendak penguasa terhadap rakyat yang tidak berkuasa. Untuk itu pendidikan harus menjadi aksi dan refleksi secara menyeluruh untuk mengubah realitas yang menindas menuju pembebasan.

Dalam beberapa tulisannya yang lain, Freire memberikan gambaran tentang upaya pembebasan dari berbagai masalah. Masalah tidak hanya pada soal pendidikan, tetapi juga ekonomi, politik, hukum, atau kebudayaan sehari-hari. Untuk itu integrasi realitas sosial ke dalam pendidikan merupakan salah satu upaya dalam membebaskan diri dari permasalahan sosial. Pola hadap masalah (kontekstual) menurut Freire dapat terjadi kapan dan di mana saja selagi manusia masih hidup. Karena itulah, konsep pendidikan Freire sangat menekankan kesadaran diri sebagai subjek. Sebab, dalam pemikirannya, hanya subjeklah yang dapat memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial,yang dibangun berdasarkan relasi intersubjekti, rakyat diharapkan mampu memikirkan pemecahan masalah yang dihadapinya (Mintara, 2001).

Harus disadari bahwa daya penindasan itu terjadi secara luas dan mendalam. Bahkan dalam banyak hal yang kelihatannya paling netral dalam pendidikan, yakni dalam belajar membaca dan menulis, penindasan itu telah terjadi. Di sana peserta didik sudah ditekan dan peralat sedemikian rupa seperti seorang budak yang diperalat oleh kekuasaan tuannya untuk menggarap apa yang diinginkannya. Jadi, yang terjadi bukanlah hubungan belajar mengajar, tetapi pemaksaan dunia mereka yang berkuasa terhadap mereka yang tak berkuasa. Jelas proses belajar mengajar semacam ini tidak tidak mau telah memblokir manusia untuk menjadi manusia.


2. Pendidikan Kaum Tertindas

Pada awal 1960-an Brazil mengalami masa-masa sulit. Gerakan-gerakan reformasi (baik dari kalangan sosialis, komunis, pelajar, buruh, maupun militan Kristen) mendesakkan tujuan sosial politik mereka masing-masing. Waktu itu, Freire menjadi direktur utama Pusat Pengembangan sosial Universitas Recife. Kemudian ia membawa program pemberantasan buta huruf kepada ribuan petani miskin di Timur laut tempatnya bekerja. Gebrakan yang dilakukan Freire ternyata mendapat sambutan dari golongan kaum minoritas/tertindas. Kedatangan program Freire tersebut menjadi salah satu harapan baru bagi mereka, karena hak untuk memberikan suara seseorang saat itu tergantung pada kemampuan baca tulis.

Freire dalam hal ini telah menarik perhatian kaum miskin untuk membangkitkan harapan mereka. Mereka mulai berani mengungkapkan keputusan-keputusan sendiri tentang hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Pendidikan kaum tertindas bagi Freire bukan hanya sekedar teori murni yang lepas dari praktek sosial, melainkan tindakan yang menuntut komitmen yang diimplementasikan dalam seluruh kehidupannya. Pendidikan kaum tertindas bukanlah sekedar teori atau filsafat yang kering, tetapi lebih dari itu mencoba memberikan asas-asas atau jawaban yang jitu untuk menangani masalah-masalah sosial.

Freire melontarkan wacana pembebasan yang didasarkan pada keyakinan transformasi politik dan individu. Ia menekankan bahwa struktur, sistem, atau lembaga penindasan harus ditolak. Freire menggambarkan penindasan sebagai kondisi di mana A secara objektif mengeksploitasi B atau merintangi usahanya untuk menegaskan diri sebagai seorang yang bertanggung jawab. Bagi Freire, penderitaan orang miskin tidak bersifat kebetulan seja, tetapi sebagai akibat penindasan dari struktur yang tidak adil. Pikiran Freire bertitik tolak dari analisis Karl Marx tentang pertentangan kelas (class strunggle), juga dari teologi pembebesan yang berasumsi bahwa kita seharusnya berpihak pada orang miskin (Adeney – Risakotta, 2001).

Dehumanisasi, menurut Freire, meskipun merupakan fakta sejarah yang konkret, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat dari tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan-tangan para penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas (Freire, 1968). Freire percaya bahwa sebuah tatanan masyarkat yang adil, sistem norma, prosedur, kekuasaan dan hukum memaksa individu-individu untuk percaya bahwa kemiskinan dan ketidakadilan adalah fakta yang tidak terelakkan dalam kehidupan manusia; bahwa tatanan yang tidak adil ini telah meletakkan kekuasaan di tengah segelintir orang dan menempatkan mitos-mitos di benak semua orang.

Freire mengingatkan bahwa status, kekuasaan, dan dominasi dari penindas mustahil ada tanpa adanya eksistensi kaum tertindas. Antara penindas dan tertindas merupakan manifestasi dari perilaku dehumanisasi (Smith, 2001). Penindas didehumanisasikan oleh tindakan penindasan yang –bisa jadi- akan menghancurkan dirinya sendiri, sedangkan si tertindas didehumanisasikan oleh realitas penindasan yang mereka alami. Pendidikan juga harus mempu menyadarkan bahwa pemaksaan dan dan penindasan itu tidak hanya mengenai hal fisik, tetapi merasuk sampak ke kedalaman psyche dan kesadaran manusia. Justru di kekedalaman itulah diri manusia paling disetir dan diperalat oleh kekuasaan para penindas yang sebelumnya tidak disadarinya. Dan tugas pendidikan yang terutama adalah memebebaskan diri dari penindasarn yang tak disadarinya itu.


3. Pendidikan Konsientisasi

Istilah penting yang diajukan Freire dalam Pedagogy of The Oppressed untuk mengajukan teorinya adalah penyadaran (conscientizacao) atau yang sering kita sebut "konsientasi". Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialami siswa atau murid. Meskipun wilayah terakhir yang ingin dituju adalah perubahan sistemik, namun pendidikan Freire bertujuan untuk pembebasan dan pemanusiaan (humanisasi). Dalam rangka itulah Freire melihat bahwa ‘penyadaran’ (Konsientisasi) sebagai inti dari pendidikannya. Pendidikan harus bertujuan menyadarkan peserta didik akan realitas sosialnya (Smith, 2001).

Freire (1979) membagi kesadaran manusia menjadi kesadaran magis, naif, dan kritis. Pertama, kesadaran magis (magical consciousness) adalah kesadaran mesyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran ini lebih melihat pada faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dari ketidakberdayaannya. Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis terhadap keterkaitan antara sistem yang ada dengan permasalahan masyarakat.

Kedua, kesadaran naif (naival consciousness) yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreativitas, need for achievment dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, mereka menganggap hal itu karena salah mereka sendiri. Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan sebagai pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur dianggap sudah baik dan benar dan merupakan faktor given, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Tugas pendidikan adalah bagaimana mengarahkan siswa agar bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah ada.

Ketiga, kesadaran kritis (critical cinsciousness) yang lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendidikan mencoba menganalisis secara kritis sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi, budaya, dan konteks masyarakat lainnya. Paradigma kritis dalam pendidikan adalah melatih siswa agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian menganalisis bagaimana sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma ini adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar siswa terlibat aktif dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Menurut Freire, Kesadaran merupakan cara memahami satu kesatuan dialektis, dimana seseorang menemukan hubungan antara sujektivitas dan objektivitas. Kemudian seseorang harus mempertimbangkan peran kesadaran manusia sebagai makhluk yang sadar dalam proses perubahan (Freire, 1979). Proses dialektis kritis dalam hal ini mengandung pengertian dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pikir dengan memakai pertemuan (interplay) antaride (Titus, 1984).

Untuk memperkuat argumentasinya akan pentingnya pendidikan sebagai penyadaran, Freire membangun pandangan filosofis bahwa manusia di dunia ini tidak sekedar hidup (to live), tetapi "mengada" atau bereksistensi. Dengan bereksistensi manusia tidak hanya ada "dalam dunia", melainkan juga ada "bersama dengan dunia". Manusia yang bereksistensi, menurut Freire, mampu berkomunikasi dengan dunia objek sehingga memiliki kemampuan kritis. Selanjutnya ia mengatakan bahwa manusia utuh adalah manusia sebagai subjek. Sementara manusia yang hanya beradabtasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas. Adaptasi merupakan kekhasan prilaku binatang. Karena itu, jika ditunjukkan dan diperankan oleh manusia yang terjadi adalah dehumanisasi (Fajar, 2000).


4. Pendidikan Dialogis

Pendidikan dialogis merupakan upaya penolakan Freire terhadap pendidikan ‘gaya bank’ (tradisional), yang telah menjadikan pendidikan sebagai ajang monopoli guru terhadap siswa di sekolah. Dalam hal ini guru dan siswa harus menjadi mitra dialog dalam memecahkan segala persoalan, bukan membuat jarak antara guru dan siswa, karena dengan adanya jarak akan membuat peluang penindasan guru terhadap siswa terbuka lebar. Oleh karena itu, satu-satunya alat paling efektif dalam sebuah pendidikan manusiawi (humanis) adalah adanya hubungan timbal balik permanen yang berbentuk dialog (Freire, 1970).

Dialog, dalam hal ini secara esensial didefinisikan Freire sebagai bahasa/kata yang disusun berdasar refleksi dan aksi. Kata yang diucapkan tanpa tindakan adalah verbalisme, dan tindakan tanpa refleksi merupakan aktivisme. Dialog yang penuh harapan merupakan tindakan revolusioner, sebagai pengetahuan empiris yang bertemu dengan pengetahuan kritis. Melalui dialog dan komunikasi bahasa, siswa dianggap bertanggung jawab dalam proses pembelajaran mereka sendiri, dan lalu menjadi critical co-investigators dalam dialog dengan guru (Freire, 1970).

Lebih jauh, Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial bagi proses penyadaran. Ia menggarisbawahi potensi yang luas dari dialog dan dengan bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagai alat yang mampu menanamkan dominasi maupun kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong pada transformasi sosial dan pembebasan. Freire juga tanpa malu memegang nilai-nilai seperti cinta sebagai esensi dialog; “If I do not love the world; if I do not love life; if I do not love people, I cannot enter into dialogue” (jika aku tidak mencintai dunia; jika aku tidak mencintai hidup; jika aku tidak mencintai rakyat, aku tidak dapat terlibat dalam dialog).

Konteks dialog yang teoritis pada dasarnya menghadirkan fakta berupa keadaan nyata secara kritis yang dapat dianalisis. Analisis ini melibatkan pengujian atas abstraksi dengan cara merepresentasikan realitas konkret, terutama dalam mencari pengetahuan yang kontekstual. Sebagai objek pengetahuan, kodifikasi ini menjadi media penjelas dalam menyelidiki subjek pengetahuan, yakni antara guru dan siswa yang dialogis dalam menyelidiki objek. Hal ini terjadi dalam tahap praktis, dan otomatis akan mengikutkan dekodifikasi, dalam hal refleksi kritis atas objek pengetahuan yang menjadi jembatan komunikasi mereka. Tujuan dekodifikasi adalah tercapainya tingkat pengetahuan kritis yang merupakan wacana linguistik yang harus dibaca oleh semua orang yang ingin menafsirkannya.

Gagasan tetang dialog Freire sebenarnya bisa dirunut kembali dari pengalaman Freire di masa muda. Ia membandingkan dua model pendidikan yang ia saksikan. Yang pertama di dalam kota Recife, khsusnya di wilayah mata, di mana anak-anak dididik dengan keras, sering dengan hukuman secara fisik oleh orang tua mereka. Akibatnya mereka tumbuh dalam ketakutan. Sebaliknya di wilayah pantai, anak-anak hidup dengan merdeka, karena mereka jarang dipukul dan hidup bebas dalam iklim laut terbuka. Dalam hal ini relasi antara orang tua dan anak akan dibawa dalam relasi antara guru dan murid-muridnya ketika anak-anak mulai belajar di sekolah. Dan kedua relasi itu tak lebih dari cerminan masyarakat luas dan negara, yang satu antidialog dan yang lain memberi kebebasan dialog (Sudiarja, 2001).


5. Pendidikan Hadap Masalah

Pendidikan kontekstual atau hadap masalah adalah sebuah teori dan model pendidikan yang mengupayakan peserta didik untuk menjadi subyek dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas sosial. Freire menekankan peran berpikir dalam pembuatan kembali dunia. Dari sini fakta sosial bisa diungkapkan melalui pendidikan, dan menurut Freire, harus diupayakan adanya penyatuan (integration) dunia fakta (nyata) ke dalam dunia pendidikan.

Bila selama ini pendidikan memitoskan realitas dunia untuk menutupi realitas yang sebenarnya, maka dalam sistem pendidikan kontekstual (hadap masalah) harusnya menjadikan realitas sosial sebagai demitologi. Pendidikan kontekstual menumbuhkan interaksi manusia dengan dunianya, karena tugas pendidikan kontekstual adalah memproblematisasi realitas sosial menjadi bagian dari manusia sebagai peserta didik. Menurut Freire, ilmu pengetahuan bukan barang yang dimiliki oleh seseorang, tetapi kemampuan atau keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui bahasa yang tepat. Pendidikan adalah proses di mana kita memberi nama-nama kepada dunia nyata (Freire, 1970). Secara tidak langsung, teori Freire membongkar positivisme ilmu pengetahuan Barat yang mengasumsikan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang positif, tetap dan pasti.

Untuk itu, dalam paedagoginya, Freire membuat tiga skema dalam merumuskan pendidikan kontekstual. Pertama, investigasi, yaitu pengujian dan penemuan kesadaran manusia yang bersifat takhayul, naif, dan kritis. Kedua, tematisasi, yaitu pengujian semesta tematis dengan reduksi; penemuan tema-tema generatif yang baru, yang tersirat dalam tema-tema sebelumnya. Ketiga, problematisasi, penemuan situasi-situasi rumit dan tindakan-tindakan limit yang mengarah pada praktis otentik tindakan kultural permanen untuk pembebasan (Collins, 2002).

Freire berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Bagi Freire, pendidikan harus menggambarkan konsep tentang manusia dan dunianya. Pengenalan itu harus bersifat subjektif sekaligus objektif untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas. Realitas itu bukan hanya data-data objektif, tetapi fakta konkret yang terjadi di mana-mana terutama di dunia ketiga. Di sini jelas pemikiran Freire sangat dipengaruhi oleh Marx, terutama dalam pemikirannya mengenai perombakan struktur sosial yang tidak adil melalui pendidikan. Dalam arti di sinilah ia menyebut dirinya sebagai pemikir radikal. Akan tetapi sangat berbeda dari Marxisme dan penganut Sosialisme pada umumnya yang memandang struktur sosial secara antagonis dalam pertentangan kelas atas dan kelas bawah, Freire tidak mengajarkan pertentangan kelas dan revolusi dalam pendidikannya, melainkan dialog.

Freire sendiri menyadari bahwa gerakan-gerakan pembebasan sering bersifat reaksioner dalam mendekati persoalan, lebih-lebih kalau sudah mengkonsepkan sendiri situasi penindasan yang ada. Mereka merasa membela rakyat tertindas dengan mengadakan pertentangan melawan penguasa, tetapi tanpa didasari dengan penyadaran akan situasi sosial yang sesungguhnya secara bersama. Mereka berjuang dan membela ketertindasan masyarakat dengan mengandalkan diri pada ideologi dan doktrin-doktrin saja, tanpa pendidikan dan penyadaran sosial (konsientasi). Dengan demikian, berarti mereka melupakan unsur penting pendidikan sebagai proses pembebasan, baik bagi yang terndas maupun yang menindas (Sudiarja, 2001).


6. Catatan Kritis

Tetapi dari semua ini, tampaknya satu keunggulan Freire adalah kemampuannya berdiri di antara teori dan praktek. Di satu pihak, Freire tidak jatuh dalam ekstrim pengembangan semacam filsafat pendidikan yang kering, dan di pihak lain, kendati kegiatannya yang bersifat pragmatis, dengan perjalanan dan kunjungan ke berbagai daerah, ia tidak jatuh pada aktivisme atau menjadi penggerak politik. Keadaan seperti itulah yang seringkali membuat orang kesulitan untuk menggolongkan Freire dalam suatu kedudukan yang jelas. Freire seperti memenuhi kedua kriteria tersebut, kritikus dan praktikus, atau sama sekali bukan keduanya.

Namun melihat kecurigaan Freire terhadap pendidikan yang berpotensi untuk dijadikan sebagai alat domestifikasi penguasa kepada rakyat, jelas Freire adalah pemikir pendidikan Kritis. Beberapa pandangannya mengindikasikan bahwa dalam beberapa hal Freire sangat dipengaruhi Karl Marx dan kelompok yang disebut new-left. Freire ia menggagas konsep pendidikan pembebasan; ketika melihat pendidikan menindas rakyat, ia mengajukan konsep pendidikan kaum tertindas; ketika pendidikan tidak lagi bisa memupuk potensi kesadaran-kritis manusia, ia menawarkan konsep pendidikan penyadaran; ketika pendidikan bersifat monologis dan menghegemoni peserta didik, ia memberikan alternatif konsep pendidikan dialogis; dan ketika pendidikan hanya bersifat teoritis dan kurang berpijak pada realitas sosial, ia menjanjikan konsep pendidikan kontekstual.

Tidak bisa dipungkira, banyak hal positif yang dapat dipetik dari teori pendidikan kritis Freire. Salah satunya adalah pandangan dia mengenai pendidikan dialogis. Seharusnyalah pengjar rendah hati dan mengasihi peserta didiknya supaya terbuka terhadap berbagai kritik dari peserta didik. Sebaliknya, peserta didik seharusnya senantiasa kritis dan mempertanyakan kembali tentang hal yang belum diduga oleh pengajar. Kelebihannya juga adalah konsepnya tentang penyadaran (konsentisasi). Konsep kesadaran Freire ini sekaligus merupakan kritik terhadap gerakan-gerakan pembebasan yang dianggap sering bersifat reaksioner dalam mendekati persoalan tanpa didasari oleh penyadaran sosial.

Namun, tanpa menutupi kekaguman terhadap konsep pendidikan Freire, terdapat juga poin-poin yang memberatkan dari konsep pendidikan Freire. Salah satunya adalah dikotomi ekstrim antara subjek dan objek. Menurut saya, perbedaan antara peserta didik sebagai subjek atau objek seharusnya bersifat dialektis. Sebab harus diakui ada beberapa hal dalam pendidikan yang tidak mungkin diaplikasikan menurut sudut pandang peserta didik sebagai subjek yang bebas penuh mengembangan dirinya. Contoh sederhana adalah bidang eksakta yang menuntut ketundukan peserta didik kepada pengajar, termasuk juga teori-teori, keterampilan-keterampilan, data-data, dan pendekatan-pendekatan yang telah lama dibangun oleh ahli yang jauh di atas tingkat ilmu pengetahuan. Dengan kata lin peserta didik masih harus banyak membaca dan belajar sebanyak mungkin (menjadi objek) sebelum lebih jauh membangun sebuah kritik (menjadi subjek).

Jalan tengah untuk memecahkan dikotomi ekstrim antara subjek dan objek dikemukakan oleh Imam Barnadib dalam bukunya Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan (1996). Menurut Barnadib, Dalam proses pendidikan, peserta didik seharusnya dipandang sebagai subjek dan objek sekaligus. Anak sebagai subjek karena ia sebagai makhluk pribadi, bebas, yang dalam beberapa hal mampu menentukan pilihannya sendiri. Peserta didik tidak dikatakan sebagai objek karena ia menjadi sasaran pendidikan terutama dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang. Ciri dari pertumbuhan dan perkembangannya menjadi perhatian pendidikan untuk dipengaruhi dan diarahkan. Hal ini karena pendidikan mempunyai sifat normatif. Pendidikan menghendaki tingkah laku tertentu dalam pergaulan bukanlah tingkah laku yang dikehndaki anak tersebut, tetapi juga yang dapat diterima dalam kaitannya dengan norma tertentu.


PENUTUP

Makna penting yang dapat dipetik dari konsep pendidikan Paulo Freire adalah bahwa tidak boleh ada dikotomi di antara tujuan pendidikan dan cara pendidikan. Tujuan (transformasi yang membebaskan setiap orang agar menjadi manusia sejati), seharusnya terwujud dalam bagaimana pendidikan dilaksanakan. Tujuan pembebasan tidak tidak terpisahkan dari jalan yang membebaskan. Selain itu, tetap ada signifikansi dalam teori pendidikan Freire bahwa tugas pendidikan tidak saja memunculkan pengertian tentang dunia, tetapi juga tranformasi dunia. Tranformasi dunia melalui pendidikan harus termasuk tranformasi pendidikan sendiri. Bagaimana di Indonesia?


DAFTAR PUSTAKA

Adeney-Risakotta, Bernhar, 2001, Pendidikan Kritis Yang Membebaskan dalam Basis, Nomor 01-01, Tahun Ke-50, Januari-Februari 2001.

Barnadib, Imam, 1996, Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Collins, Denis, E., S.J., 2002, Paulo Freire; Kehidupan, Karya dan Pemikiran, terjemahan Henry Heyneardhi dan Anastasia P., Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Freire, Paulo, 1970, Cultural Action for Freedom, Harvard Rducational Review and Center for Study of Development and Social Change, Macsachesette.

---------------, 1979, Education for Critical Consiousness, Sheed and Ward, London.

---------------, 1973, Education as the Practice of Freedom in Education for Critical Conciousness, Continium, New York.

---------------, 1968, Pedagogi of the Oppressed, Herder and Herder, New York.

Fajar, Malik, 2000, Pendidikan Sebagai Praksis Humanisasi, dalam Orientasi, No.2 Tahun II.

Mintara, Agustinus, 2001, Sekolah Atau Penjara dalam Basis, Nomor 01-01, Tahun Ke-50, Januari-Februari 2001.

Smith, A., William, 2001, Conscientizacou Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Pen. Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sudiarja, 2001, Pendidikan Paulo Friere; Pendidikan Radikal tapi Dialogal dalam Basis, Nomor 01-01, Tahun Ke-50, Januari-Februari 2001.

Titus, Harold, H., Smith, Nolan Richard T., 1979, Living Issues Philosophy, D. Van Nostrand Company, New York

3 komentar: