Senin, 25 Mei 2009

MENGENAL FILSAFAT SOSIAL HANNAH ARENDT

Pendahuluan

Manusia mempunyai karakter khas mampu menghadirkan kembali ingatan masa lalu. Dengan berusaha mengenang masa lalu, manusia dapat belajar dari kegagalan di masa lalu untuk bisa maju di masa depan. Upaya mengenang juga dapat dilihat sebagai upaya menemukan makna yang paling dalam dari kehidupan. Dengan menghadirkan kembali pengalaman, manusia dapat menikmati sari pati makna yang tidak mungkin bisa segera ditangkap pada saat pengalaman itu terjadi. Pengenangan berarti juga menciptakan jarak, justru untuk makin dekat dengan yang tersirat di balik pengalaman manusia.

Hannah Arendt adalah sosok pemikir dan filsuf wanita yang berusaha memungut kembali ceceran pemikiran masa lalu yang tak jarang diacuhkan karena dianggap telah usang dan ketinggalan zaman. Dalam sejarah filsafat Barat kontemporer sedikit saja filsuf dan pemikir perempuan yang tampil ke permukaan. Simon de Veauvoir, Rosa Luxemburg, Simone Weil adalah beberapa nama termashur di samping Hannah Arendt. Dari nama-nama ini hanya Arendt yang mencurahkan perhatiannya pada filsafat politik. Hannah Arendt telah berusaha merefleksikan politik dengan sudut pandang yang berbeda. Arendt mengajarkan bagaimana seharusnya politik diejawantahkan: partisispasi dan aksi kononikasi warga dalam negara (Budi Hardiman, 2002: 4).

Tulisan ini mencoba meletakkan bangunan filsafat sosial Hannah Arendt di atas landasan sebuah antinomi yang telah digagas oleh filsuf jaman antik, Aristoteles, dalam karyanya Politics. Namun sejak awal disadari bahwa tulisan ini akan meretas pandangan Hannah Arendt sebatas sebagai upaya mengintip saja. Sebagai tindakan mengintip, tentu tulisan ini tidak bermaksud terutama untuk menyajikannya secara menyeluruh pandangan-pandangan Arendt, tetapi hanya sebatas yang bisa diintip. Dengan kata lain, tulisan ini tidak lebih sebatas serpihan-serpihan pemikiran Arendt, mengingat begitu luas dan komprehensipnya pemikirannya.


Sekelumit Tentang Hannah Arendt

Hannah Arendt dilahirkan di Linden, dekat Hannover, Jerman pada 14 Oktober 1906 dari pasangan Paul dan Martha Arendt. Arendt dibesarkan dalam keluarga Yahudi Jerman yang terdidik dan relatif liberal. Masa kecil Arendt boleh dibilang malang. Ia kehilangan ayah saat usianya baru menginjak tujuh tahun dan pada umur jagung itu pula ia harus menerima kenyataan sebagai saksi sejarah kekejaman Perang Dunia I. Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya (Gymnasium), pada 1924 Arend muda "yang jelita" itu masuk Universitas Marburg. Di Universitas itulah Arendt bertemu dan berguru bahkan "berselingkuh" dengan Martin Heidegger (1889-1976) (Fahmi, 2002: 21).

Namun, hubungan Arendt dan sang guru pada akhirnya renggang menyusul sikap mendukung Heidegger pada rezim Nazi. Ketika Sosialisme Nasional atau Nazi berkuasa, peruntungan kedua orang ini segera berkebalikan. Tahun 1933 sang dosen dipercaya Nazi jadi rektor Universitas Freiburg. Di saat yang sama si perempuan jadi pengungsi tanpa kewarganegaraan di Paris setelah lolos dari penjara Gestapo di Berlin. Dosanya: ia Yahudi. Zaman membuat keduanya dalam posisi diametral, dipisahkan oleh garis tegas pembinasa dan terbinasa (Sirait dan Hindryati P, Kompas, 01/09/2004).

Tidak putus asa, pada tahun 1925 Arendt melanjutkan studinya pada Edmund Husserl (1889-1938) di Freiburg i.B. Tetapi promosinya, atas saran Heidegger, dilakukan pada Karl Jaspers (1883-1969) di Heidelberg. Disertasinya yang mengangkat konsep cinta menurut St. Augustinus (Liebesbegriff bei Augustinus, 1929) merupakan antipoda bagi konsep Sein-zum-Tode Heidegger. Uniknya, Arendt menuliskannya dalam prosa Heideggerian, salah satu bukti pengaruh guru dan mantan kekasihnya.

Arendt tergolong pemikir yang produktif. Banyak buku ditulisnya seperti Rahel Varnhagen, The Life of Jewess, The Origin of Totalitarianism, Men in Dark Times, Crisis of Republic, The Lif of Mind, The Human Condition, On Revolustion, Between Past and Future. Di luar itu karya-karyanya banyak berserakan di jurnal atau bahan seminar dalam bentuk paper di antaranya Thinking and Moral Condirations, Civil Disobedience, Reflections on Violence, Reflections on Little Rock, Philosophy and Politics, The Concern With Politic in Recent European Philosophy, Karl Marx and the Great Tradition. Totaliterian Elements in Marxism, karya yang tidak rampung, Ideology and Terror, What is Existenz Philosophy.

Di samping banyak karya, Arendt juga disinyalir memiliki banyak pria idaman, baik yang menjadi suaminya atau sekedar teman selingkuh saja. Sebagian yang dapat disebut adalah gurunya Heidegger sendiri, kemudian Gunther Stern, seorang filsuf muda Yahudi (1929), Walter Benjamin, Raymond Aron, lalu Heinrich Blucher, seorang aktivis kiri politik Jerman, Hermann Broch, sastrawan dan filsuf yang meneliti fenomena psikosis massa.

Tetapi apapun kesan yang akan diberikan pada Arendt, dunia harus mengakui bahwa Arendt adalah "souvenir" abad ke-20. Gagasan-gagasannya yang orisinil, menentang dan kontroversial tidak mudah digolongkan ke dalam mazhab pemikiran manapun. Arendt adalah filsuf dengan gagasan yang berjangkauan luas atas peristiwa-peristiwa sejarah besar zamannya, dan termasuk salah satu pemikir yang meletekkan batu pertama metode fenomenologi ke dalam diskursus sosial politik.

Ironi Modernitas

Setiap pembahasan mengenai karya-karya Hannah Arendt hampir selalu diawali dengan pernyataan bahwa Arendt adalah seorang pemikir orisinal. Gagasan-gagasan politik Arendt memang menantang dan kontroversial. Kadang ia menyerang disiplin-disiplin sejarah, sosiologi dan politik, bahkan berkali-kali ia menyanggah pemikiran Marx dan mulai memberikan alternatif suatu polis ideal yang acapkali mengandung sentuhan konservatif. Di saat yang sama ia adalah pemikir radikal. Ia adalah seorang kritis dan terang-terangan menyerang kultus terhadap pertumbuhan dan distorsi terhadap kebebasan di dalam sistem yang menyebut dirinya pasar bebas dan yang menempatkan segala aktivitas lainnya, terutama bidang politik, di bawah kendali kekuasaan.

Ia juga mengkritik Revolusi Prancis yang melakukan kesalahan besar karena telah mencampuradukkan perhatian terhadap masalah-masalah sosial dengan masalah kebebasan politik. Akhirnya ia menyerang demokrasi itu sendiri sebagai sistem yang sangat tidak memadai untuk menciptakan kebebasan politik. Demokrasi pada dasarnya merupakan sistem yang sangat jauh dari sempurna, yang berfungsi dengan cara memberangus perbedaan pendapat dan menindas minoritas (Beilharz, 2002: 33). Institusi politik dewasa ini, menurut Arendt, tidak lebih dari sekedar institusi dominasi (institusi yang mendominasi warganya). Pada dasarnya, institusi semacam ini tidak lagi mempunyai legitimasi, karena hanya dapat dipertahankan lewat pemaksaan dan kekerasan, bukan kebebasan.

Institusi yang demikian sesungguhnya sudah kehilangan kekuasaan. Dan satu-satunya alternatif adalah pemaksaan (force). Melalui pemaksaan, seseorang atau sekelompok kecil orang dapat memonopoli kekerasan. Tirani adalah bentuk pemerintahan yang mengkombinasikan pemaksaan (force) dan ketidak-kuasaan/ketiak-berdayaan (powerlessness). Tirani mendasarkan diri pada isolasi, yaitu isolsi antara tiran dengan orang-orang yang dikuasai maupun isolasi orang-orang yang dikuasai dari relasi satu sama lain lewat penciptaan kecurigaan dan ketakutan. Karena itu, tirani bukanlah salah satu bentuk pemerintahan. Tirani bertentangan dengan kondisi pluralitas yang niscaya bagi semua bentuk oraganisasi politik. Tirani tidak hanya menghalangi kekuasaan tumbuh, sebaliknya ia menyebabkan impotensi kekuasaan (Sumarwan, 2002: 51).

Dunia politik, menurut Arendt, tidak hanya dinodai oleh tirani, tetapi lebih mengerikkan lagi oleh totaliterisme. Totaliterisme menunjukkan ekspresinya yang paling jelas dalam ideologi dan teror yang secara sistematis telah meremukkan bangsa Yahudi di Jerman semasa Hitler serta Rusia semasa Stalin. Totaliterisme tersebut, menurut Arendt, bertujuan mengintegrasikan secara keseluruhan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat ke dalam suatu pola politik tertentu. Struktur politik ini tidak saja mengharamkan semua bentuk oposisi, tetapi juga mencegah otonomi lembaga-lembaga masyarakat (mulai dari institusi keluarga sampai institusi ekonomi) vis a vis struktur politik (Nasution, 1993: iv).

Menurut Franz Magnis-Suseno hakekat totaliterisme dengan tepat digambarkan oleh George Orwell dalam romannya "Animal Farm" (1943). Menurut Orwell, penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah, ia tidak hanya mau memiliki monopoli kekuasaan. Melainkan ingin secara aktif menentukan bagaimana masayarakat hidup dan mati, bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan. Dan siapa yang tidak ikut akan dihancurkan.

Totaliterisme bertolak dari tiga kesadaran dasar: Pertama, totaliterisme merupakan bentuk kekuasaan yang baru dalam sejarah, yang harus dibedakan dari bentuk-bentuk pemerintahan otokratis lebih dulu. Kedua, betapa pun besar perbedaan antara Nasional-Sosialisme dan Bolshevisme, terutama dalam tujuan masing-masing dan dalam faham masing-masing tentang dirinya sendiri, akan tetapi ada hal-hal hakiki yang dimilikinya bersama; dua-duanya mencoba untuk menaklukkan seluruh dunia; dua-duanya tidak memperdulikan tatanan hukum dan melanggar hak-hak asasi manusia yang paling besar tanpa malu-malu; dua-duanya mendirikan kamp-kamp tahanan raksasa dengan jutaan penghuni; dua-duanya tidak menghitung jumlah korban dalam pelaksanaan tujuan-tujuan mereka; dua-duanya dalam jangka waktu relatif tidak panjang membunuh jutaan orang musuh serta melakukan berbagai bentuk kejahatan yang di luar bayangan orang biasa.

Ketiga, adalah khas bahwa diktator-diktator totaliter abad ke-20, dengan mangatas-namakan ideologi-ideologi kemajuan dengan tujuan-tujuan utopis, melanggar secara sistematis bukan hanya hak-hak warga negara, seperti di negara-negera diktator, melainkan juga hak-hak dasar manusia; mereka tidak hanya mengikutsertakan warga negara dalam partisispasi politik, melainkan juga menguasai kehidupan dan keyakinan-keyakinan yang bersifat personal, menyamaratakannya dan membawahkannya terhadap tujuan-tujuan mereka (Suseno, 1995: xi-xiii).

Lebih jauh, upaya totaliterisme ke arah dominasi total merupakan jalan ke luar destruktif dari semua kendala. Kemenangannya sekaligus merupakan kehancuran niali-nilai kemanusiaan. Arendt mengidentifikasikan totaliterisme dengan kejahatan, karena di dalamnya terkandung unsur manipulatif. Sifat hakiki kejahatan totaliterisme, menurut Arendt, nampak ketika dimanipulasinya antisemitisme –unsur lain totaliterisme- untuk tujuan-tujuan tersembunyi. Sehingga ideologi sekuler ini dapat menjadi katalisator gerakan Nazi, yang antara lain ingin memusnahkan bangsa Yahudi. Padahal, antisemitisme tidak melulu kebencian kepada bangsa Yahudi dan bukan pula pertentangan ajaran agama. Antisemitisme, menurut Arendt, adalah rasisme yang dimanipulasi untuk menghabisi Yahudi (Nasutiaon, 1993: v).


Tindakan Politik Ala Aristotelean

Sejak Neccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Max Weber (1864-1920), dan Carl Schmitt (1888-1985) politik acap kali dipahami sebagai tindakan strategis. Tindakan politis dianggap sebagai sebentuk pemaksaan kehendak oleh penguasa terhadap objek kekuasaannya dengan cara apapun. Pemegang kedaulatan adalah siapapun yang mampu menentukan dalam keadaan darurat, sehingga situasi kacau balau dan hiruk-pikuk politik selalu dibuat penguasa demi melanggengkan kekuasaannya.

Akhirnya, kancah politik sering dinilai sebagai kotor dan negatif karena sikap-sikap manipulatif menjadi lumrah di dalamnya. Semantara itu politikus menjadi maklum dianggap sebagai tak ubahnya sebagai penyamun. Dalam kesadaran sebagai penyamun itu, homo homini lupus, bellum omnium contra omnes, clash of civilizations (manusia adalah srigala bagi sesamanya, perang semua melawan semua) menjadi bagian dari leksikon mereka dalam berpolitik (Fahmi, 2002: 18).

Dalam konteks inilah Arendt berbeda pandangan dalam merefleksikan politik. Bagi Arendt, politik harus diejawantahkan dalam bentuk partisipasi dan konunikasi. Tindakan strategis justru tidak bersifat politis karena politik mengandaikan komunikasi, dialog dan partisipasi para pelakunya. Dalam hal ini, Arendt menekankan pentingnya pemaknaan lain dari politik yang bertolak dari rasa keadilan dan bersandar pada kesetaraan manusia.

Inspirasi utama gagasan politik Arendt adalah pemahaman Yunani yang memandang politik sebagai sebuah techne. Techne menjadi bagian dari aktivitas seni, khususnya seni penampilan. Politik, menurut Arendt, bagaikan sebuah pementasan drama. Politik merupakan seni penampilan di mana seseorang dalam kebersamaan dengan orang lain saling menampilkan diri sehingga "aku yang tampil dilihat orang lain sebagaimana aku juga melihat orang lain tampil di hadapanku" (Arendt, 1959: 183). Dengan kata kunci techne, Arendt mengkritik Plato dan Karl Marx serta membantah politik sebagai tindakan monolog. Ambisinya adalah menguak selubung ideologi yang berkembang pada zamannya.

Layaknya drama, aktivitas politik tidak dapat ditampilkan sendiri tetapi perlu ditampilkan dalam kebersamaan dengan pemain-pemain lain. Pemain-pemain ini adalah orang-orang bebas yang memang ingin 'bersama-sama' dalam pentas. Sementara yang dipentaskan dalam politik adalah tindakan dan kata-kata. Tempat pementasan drama ini adalah ruang publik. Yang membuat orang-orang mau bersama berkumpul dalam pentas adalah kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan adalah solidaritas yang membuat orang mau berkumpul dan berkomunikasi. Bedanya dengan drama, politik tidak mempunyai skenario, masing-masing pemain dan tindakan suatu pemain mempengaruhi pemain yang lain.

Dalam konteks Yunani Kuno, panggung tersebut adalah polis (ruang publik). Arendt memperluas konsep polis dan politik sebagai ruang antara, ruang penampakan. Arendt mengatakannya sebagai berikut:

The Polis is not the ciy-state in its physical location; it is the organization of the people as it arises out of acting and speaking together, and its true space lies between people living together for this purpose, no matter where they happen to be. "Wherever you go, you will be a polis": these famous words became not merely the watchword of Greek colonization, they expressed the conviction that action and speech between the participants which can find its proper location almost any time an anywhere (Arendt, 1959: 177).

Lebih lanjut, untuk mengatasi kekacauan, maka dibuatlah pakem (undang-undang) dan demi kelangsungan pementasan ini perlu dibentuk institusi politik yang berperan sebagai panggung yang memungkinkan pementasan itu terus berlangsung. Pementasan perlu dipertahankan keberlangusungannya karena dalam tindakan komonikasi manusia merealisasikan potensi tertinggi dari hakikat manusia, yaitu berbicara dan bertindak (Sumarwan, 2002: 41-42).

Bagi Arendt, berbicara dan bertindak sangat penting karena lewat berbicara dan bertindak, seseorang menyingkapkan siapa dirinya. Dengan demikian, tindakan juga amat terkait dengan tema identitas yaitu keunikan dan kekhasan masing-masing individu. Karena itu, bagi Arendt kegiatan politik merupakan kegiatan untuk memperoleh identitas. Identitas diperoleh dari keberadaan orang lain yang menampakkan diri dalam keunikan.

Mengapa penampakan diri ini sedemikian ditekankan oleh Arendt? Alasannya, penampakan diri kepada orang lain secara eksplisit ini merupakan kekhasan manusia. Manusia mengada tidak hanya mengada sebagaimana benda-benda ataupun makhluk hidup yang lain, karena manusia menampakkan diri secara eksplisit (Arendt, 1959: 177). Selain itu, penampakan diri kepada orang lain ini juga menjamin adanya pengalaman akan realitas, pengalaman bahwa aku sungguh mengada dan mempunyai arti; dalam perjumpaanku dengan orang lain, aku dapat menyadari bahwa diriku berarti dan berharga.

Bagi manusia realitas dunia dijamin oleh kehadiran orang lain, dalam penampilan dirinya kepada semua orang; 'karena apa yang menampakkan diri pada semua, inilah yang kita sebut sebagai Ada'. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa menurut Arendt, politik sebagai penampilan diri kepada orang lain, merupakan satu-satunya aktivitas yang menjadikan manusia sungguh menjadi manusia dan menjamin seseorang berada dalam pengalaman akan realitas dunia. Titik inilah yang menjadi alasan mengapa pandangan politik Arendt sering dituduh sebagai seorang "eksistensialis" (Sumarwan, 2002: 47).

Berangkat dari penajaman konsep polis, Arendt memunculkan serangkaian konsep lainnya mengenai kategorisasi aktivitas manusia: kerja, karya dan tindakan (labour, work and action). Kerja adalah aktivitas yang terikat dengan kondisi hidup manusia, karya adalah aktivitas yang terikat kondisi keduniawian, dan tindakan adalah aktivitas yang terikat dengan kondisi pluralitas. Menurut Arendt, masing-masing aktivitas itu otonom (dalam pengertian memiliki prinsip-prinsip distingtif dalam dirinya dan wujud yang dapat dinilai dengan kriteria yang berbeda) (d'Enteves, 2003: 111-112).

Arendt memasukkan kategori kerja dan karya ke dalam wilayah privat. Kerja adalah kegiatan manusia sebagai animal laborans yang berhubungan dengan produksi, sementara karya adalah aktivitas homo faber yang banyak hal serupa dengan kerja, namun perbedaan keduanya adalah jika homo faber menghasilkan barang-barang yang tak lekas lekang berupa kebudayaan, sebaliknya hasil produksi animal laborans akan segera hancur. Dalam kedua kegiatan di wilayah privat ini tidak ada hubungan komunikasi antarsesama, dalam arti relasi dialog dan aksi komunikasi yang mengandaikan kebebasan. Sebagaimana Aristoteles, Arendt menyebut kedua aktivitas ini bersifat apolitik.

Sementara itu kegiatan khas manusia dalam ruang publik adalah tindakan (action). Ia bersifat tidak terduga, tidak terkontrol, dan tidak terkendali. Arendt menganggap bahwa wadah yang cocok untuk tindakan manusia ini adalah polis (negara). Di sanalah lahir kekuasaan, namun tidak untuk digunakan mencapai tujuan lain di luar dirinya, melainkan untuk melindungi praxis (tindakan dan bahasa). Praxis dalam pengertian Aristotelian adalah tindakan dan kesibukan manusia dalam alam ketidakpastian, seperti dalam dunia politik. Mengikuti Aristoteles yang memandang bahwa polis (ruang publik) mendahului oikos (ruang privat) atau ruang publik harus didahulukan dari ruang privat.

Campur aduk antara polis dan oikos inilah yang kemudian melahirkan kediktatoran dan totaliterisme. Atau dengan kata lain ada ekspansi oikos terhadap polis, kolonisasi ruang privat terhadap yang publik. Ia mensinyalir bahwa politik kekerasan (kediktatoran) merupakan akibat pemaknaan politik sebagai tindakan strategis (monolog), atau politik yang ditangani dengan mentalitas kerja-karya (labour and work) (Fahmi, 2002: 35).

Pandangan Aristoteles dan Arendt di atas seakan mempertegas kembali dimensi sosial manusia yang menunjukkan bahwa kesosialan manusia mendahului individualitasnya. Politik yang menurut Arendt adalah tindakan sebagai wicara di ruang publik mengenai kepentingan publik, menuntut penjelmaan individu (manusia) pada sosialitas, dalam pluralitas. Penampakan manusia sebagai pribadi mengandaikan kebebasan yang membuatnya terlahir kembali. Karenanya tindakan politis merupakan sebuah konfirmasi bahwa seseorang pernah terlahir dan kemudian terlahir kembali dalam tindakannya. Manusia, dengan demikian, tidak terlahir bebas (born free) sebagaimana diyakini Rousseau, tetapi terlahir untuk kebebasan (born for freedom).

Dari sini nampak jelas bahwa Arendt cenderung mengafirmasi Aristoteles yang memandang politik sebagai aktivitas miteinander (dialog resiprositas), yakni partisipasi semua warga dalam hidup bernegara. Baginya politik adalah tindakan yang merupakan wicara di ruang publik mengenai kepentingan bersama (Kateb, 2000: 132). Politik dalam kacamata Arendt merupakan interpretasi atas kehidupan politik polis-polis Yunani abad ke-5 SM., terutama Athena, dan atas pemahamannya terhadap peristiwa aktual.

Dengan demikian, bagi Arendt, yang dimaksud polis adalah fenomena alamiah hidup manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang membentuk negara, dan tidak termasuk di dalamnya pergeseran paradigma zaman kontradiktif jika diukur dengan standar-standar modern seperti perbudakan, perlakuan terhadap wanita dan anak-anak. Kritik terhadap konsep perbudakan Yunani kuno dengan demikian incommensurable karena lahir dari pergeseran paradigma antara dua zaman yang sangat jauh berbeda yang memiliki bentuk kehidupan, aturan bahasa, dan paradigma yang pasti juga sangat berbeda.

Lebih dari itu, ketertarikan Arendt untuk merujuk pengalaman politik polis di masa Yunani Kuno, menurut Dana Villa (2000: 9), bukan karena alasan bahwa eksemplar masyarakat Athena hingga saat ini merupakan rezim yang terbaik, atau karena anggapan bahwa politik pada masa itu bebas dari kekerasan brutal dan sikap pemaksaan sistematik terhadap wanita, budak, dan lainnya. Akan tetapi karena alasan sederhana, yaitu bahwa Athena merupakan tempat semai pertama pohon demokrasi yang berkembang secara intens. Kehidupan politik warga Athena kala itu adalah sebuah politik dialog dan gagasan, politik pluralitas dan kesetaraan. Athena menjadi penting karena tidak hanya merupakan ibu kandung tradisi politik, tetapi juga filsafat (pemikiran) Barat.

Penutup

Akhirnya, selama politik belum menjadi politik dan kekuasaan dalam arti sesungguhnya masih menjadi angan-angan, selama itu pula pemikiran Arendt tetap merupakan warisan berharga bagi zaman ini. Politik yang peminggiran rakyat dari tindakan politik, meminggirkan rakyat dari discourse atau pertimbangan politik adalah antipolitik, antikekuasaan. Pemikiran Hannah Arendt boleh jadi sangat ideal dan utopis, tetapi semangatnya akan senantiasa mengisi pikiran politisi dan negarawan yang benar-benar berpikir tentang rakyat, ketidakadilan, dan penindasan. Sebaliknya, akan senantiasa menjadi hantu menakutkan bagi tiran dan diktator yang menindas atas nama politik dan kekuasaan.


Daftar Pustaka

Arendt, Hannah, The Human Condtion, New York: Doubleday & Company, Inc, 1959.

Beilharz, Peter, Teori-Teori Sosial: Oberservasi Kritis Terhadap Filosof Terkemuka, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.

Budi Hardiman, Fransisco, Membaca "Teks Negatif" Hannah Arendt, Sebuah Pengantar, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, edisi Th. XXVI, no. 1, September 2002.

d'Enteves, Maurizio Passerin, Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Syafwan, Yogyakarta: C.V. Qalam, 2003.

Fahmi, Ismail, Tindakan Politis, Menimbang Pemikiran Aristotelian Hannah Arendt, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, edisi Th. XXVI, no. 1, September 2002.

Kateb, George, 2000, Political Action: Its Nature and Adventages dalam The Cambridge Companion to Hannah Arendt, Edited by Dana Villa, Cambridge University Press, Cambridge.

Magnis-Suseno, Franz, dalam Hannah Arendt, Asal-Usul Totaliterisme, Jilid III, Totaliterisme, terj. J.M Soebijanta, Jakarta: Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Nasution, Adnan Buyung, dalam Hannah Arendt, Asal-Usul Totaliterisme, Jilid I, Antisemitisme, terj. A. Agus Nugroho, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

Sirait, Hasudungan P, dan Hindryati P, Rin, Penyingkapan dan Kehebohan; Ekor Selingkuh Hannah Arendt-Martin Heidegger, dalam Kompas, Rabu 01 September 2004.

Sumarwan, Politik Sebagai Komunikasi Sebuah Komunitas, Politik Menurut Hannah Arendt, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, edisi Th. XXVI, no. 1, September 2002.

Villa, Dana, 2000, The Development of Arendt's Political Thought dalam The Cambridge Companion to Hannah Arendt, Edited by Dana Villa, Cambridge University Press, Cambridge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar